NEW POSTING // 100.000 VIWERS // PULANGLAH!"

Tuesday, October 4, 2016

Sibuk!



Aku tak terlalu pantas untuk mengharapkan kehadiranmu disini. Yang aku inginkan hanya satu kalimat yang membuat hati ini tidak hening.
“maafin kesibukanku ya?”
Andai itu terucap dari kesadaranmu, aku tau… kalimat itu tidak akan menang melawan kesibukanmu.

Pagi…
Siang…
Sore…
Hingga Senja pun tiba, kalimat itu tidak terdengar di kesepian diri ini.
Malam…

“maafin kesibukanku ya?”
Aku tersentak. Tak biasanya dia meminta maaf atas kesibukannya yang aku tahu memang sangat banyak dan menjemukan. Aku tahu dia sangat menyesal tak memiliki banyak waktu lagi denganku. Dia selalu sibuk dengan dianya dia. Tapi aku bisa apa? Aku ini siapa? Aku bukan siapa-siapa baginya.
Awalnya aku kira tak akan seperti ini.

Tidak bisa…
Terpaksa…
bisa…
Hingga akhirnya terbiasa… menunggu dan menanti dan yang terpenting
Sampai kapan seperti ini?

Aku sudah mulai terbiasa ketika dia harus meninggalkanku karena dia. Aku paham. Dan ketika “dia” semakin membuatnya tak memiliki waktu lagi untuk sekedar memberiku kabar, akupun mencoba memahaminya. Aku sadar, aku tak mungkin menjadi penghalang semangatnya untuk menemukan apa yang diimpikannya selama ini. Menjadi seseorang yang bisa menciptakan hal besar. Kapan lagi dia bisa mewujudkannya jika bukan sekarang?

Kemudian aku mendapati bahwa aku semakin terabai karena dia, hingga aku akhirnya memiliki kesibukan yang mungkin tak seberapa padatnya jika dibandingkan dengan kesibukannya waktu itu. Tapi aku ingat satu hal darinya ketika aku berhasil memberitahunya tentang ini.

“bagaimana dengan ini?” sambil menunjukan foto dari handphoneku “apa aku bisa mendapatkannya?”


Tersenyum… “kenapa tidak yakin begitu? tidak mungkin kamu berhenti untuk memperjuangkan dia kan? yakinlah ini saatnya dan sudah waktunya membuat dia bahagia itu tujuanmu, sahabat/pacar itu keputusan yang tidak usah kamu miliki, berjalan seimbang di seutas tali akan membuat dirimu fokus untuk mencapai ujung tali tersebut. Lihatlah kedepan sudah ada yang menanti”

Ujung sepatu menjadi alasan mata ini untuk mengacuhkan “oke”

Entah dia akan mengatakan hal yang sama atau tidak kalau dia tahu alasan sebenarnya aku mendekati orang yang kukenalkan adalah untuk melupakan bahwa waktu-waktu senggangku kuhabiskan bersama orang yang sedang baru aku dekati.

Aku bercanda dekat dengan tempatnya melakukan aktifitasnya. Sesekali waktu istirahatku kugunakan untuk mencari keberadaannya dan memandangnya dari kejauhan. Seringkali tak kudapati temu. Sesekali kudapati temu, dia sedang sangat tak bisa diganggu dengan sekedar ucapan hai.

Pada suatu waktu renggang, aku kembali mendatanginya. Aku menyaksikannya sedang dalam keadaan duduk dan memandang papan tulis. Pelajarannya memang membuatnya harus sering-sering berhadapan dengan sakit kepala.


Dari depan pintu aku tersenyum untuknya sambil menunjukan selembar kertas yang sudah kugambari, mengibaratkan kalimat pendek yang tak bersuara mengisyaratkan aku menunggu disini untuk menanti hadirmu berada di hadapanku.

Dia mendatangiku, kemudian tiba-tiba mengulurkan tangan dan tersenyum sambil mengambil kertas itu sambil berbisik lucu “Terimakasih val… maaf ya merepotkan, sekali lagi maaf ya” kemudian tersenyum manis dan berbalik badan lalu kembali duduk dikursinya.

…Berjuang

Dan hari itupun berlalu…

Kabar tak mengenakan terdengar bahkan tertuliskan oleh titik hitam.

Menjauh seperti dedaunan yang tertiup sampai kesebrang jalanan.


Aku sangat mengenalnya. Dia sedang sangat lelah dengan apapun yang dihadapinya saat itu. Dia tidak pernah menceritakan secara detail tentang apapun yang dihadapinya. Yang didapat hanya kabar yang tak pasti begitu mesra dia bersamanya.

Dia mencoba menjadi wanita tangguh sejak pertama kali aku mengenalnya. Dia memang tangguh, meski ada kalanya ia menjadi sangat lelah dan memilih pasrah berada di pelukku sambil bermanja.

Pelukan inilah yang membuatku tak sanggup berlama-lama tak menemuinya. Candu ketika aku menjadi sangat dibutuhkannya selalu memabukkanku. Belum pernah sekalipun aku merasa risih ketika dia tiba-tiba memelukku dari belakang saat tak ada yang peduli dengan ide-ide besarnya. Belum pernah kudapati aku merasa jenuh saat dia mendatangiku untuk meminta pelukan erat dan lama, meski kemudian dia berlalu tenggelam dengan “dia”, kembali dan seolah melupakan aku ada di sekitarnya.

Apa iya aku sesayang itu padanya?
Tadinya aku pikir iya. Iya, aku sangat menyayanginya.
Tapi belakangan aku menyadari, aku tak lagi sesayang itu padanya. Iya, aku masih menyayanginya, tapi bukan lagi sebagai seorang perempuan tangguh tempatku menenggelamkan diri dalam romantisme sepasang manusia. Ternyata aku menyadari, aku menyayanginya sebagai perempuan lemah yang hanya mendatangkan candu bagiku untuk harus selalu ada ketika dia membutuhkan kehadiran seorang pria yang dianggapnya akan selalu mendengarkan tiap keluh kesahnya.

Cukupkah semua ini? Semua yang sudah sedari awal kuketahui bahwa kehadirannya hanya sebagai pengisi kesepian ini, seperti suara petikan gitar yang berasal dari lubang yang kosong dan gelap.

Seutas tali itu seperti sugesti yang tidak ada artinya…

Kehidupan baru dimulai dan ini untuk kesekian kalinya mengulang impian yang tidak pernah tercapai.

candaan membuat tempat itu menjadi lupa bahwa tempat tersebut berada di keramaian, berat sekali untuk mendekatinya bahkan yang teringat dipikiran ini. Setiap melangkah untuk mendekatinya kenangan pahit itu teringat kembali

…akan setangkai bunga. Sesekali putaran roda berhenti dan berputar kembali begitu seterusnya, tempat ternyaman pada saat itu bisa duduk berdekattan, mengharapkan pelukan itu ada untuk menyandarkan badan ini di pelukannya yang sudah terlalu kaku…

Ini hanya langkah kenapa harus teringat kenangan itu. Kembali langkah kedua untuk mendekatinya. Terasa begitu berat bahkan susah untuk terbiasa seperti berjalan layaknya manusia pada umumnya. Sesampainya didirinya suasana yang teggang terpecahkan oleh canda “ciee… bla bla bla bla” harus kuat dengan ini dan dengan seperti ini lah yang bikin dirinya akan terbiasa.

…untuk kesekian kalinya, “aku siapa? Aku bukan siapa-siapa” melarang untuk hal yang tidak aku sukai hanya membuatnya berhenti untuk mendpatkan kebahagiannya, bukan bermaksud untuk merebut kebahagiannya tapi…

Diri ini harus terbiasa akan keadaan seperti ini…
Mencintainya bukan seharusnya untuk memiliki…
Memiliki bukan seharusnya untuk melarang…

Seolah rasa pahitnya sakit hati menyadarkan untuk menyendiri.

Hai kamu…
Hai kamuu…
dan
Hai kamuuu…

Sekarang kalian sudah bebas dari rasaku ini. kalian memang tidak pernah merasakan terikat oleh rasa ini tapi Lebih baik rasa ini berhenti, sudah cukup… kita akan bahagia dengan keadaan seperti ini saja.


No comments:

Post a Comment