Aku tak terlalu pantas untuk mengharapkan kehadiranmu
disini. Yang aku inginkan hanya satu kalimat yang membuat hati ini tidak hening.
“maafin kesibukanku ya?”
Andai itu terucap dari kesadaranmu, aku tau… kalimat itu
tidak akan menang melawan kesibukanmu.
Pagi…
Siang…
Sore…
Hingga Senja
pun tiba, kalimat itu tidak terdengar di kesepian diri ini.
Malam…
“maafin
kesibukanku ya?”
Aku
tersentak. Tak biasanya dia meminta maaf atas kesibukannya yang aku tahu memang
sangat banyak dan menjemukan. Aku tahu dia sangat menyesal tak memiliki banyak
waktu lagi denganku. Dia selalu sibuk dengan dianya dia. Tapi aku bisa apa? Aku
ini siapa? Aku bukan siapa-siapa baginya.
Awalnya aku
kira tak akan seperti ini.
Tidak bisa…
Terpaksa…
bisa…
Hingga
akhirnya terbiasa… menunggu dan menanti dan yang terpenting
Sampai kapan
seperti ini?
Aku sudah
mulai terbiasa ketika dia harus meninggalkanku karena dia. Aku paham. Dan
ketika “dia” semakin membuatnya tak memiliki waktu lagi untuk sekedar memberiku
kabar, akupun mencoba memahaminya. Aku sadar, aku tak mungkin menjadi
penghalang semangatnya untuk menemukan apa yang diimpikannya selama ini.
Menjadi seseorang yang bisa menciptakan hal besar. Kapan lagi dia bisa
mewujudkannya jika bukan sekarang?
Kemudian aku
mendapati bahwa aku semakin terabai karena dia, hingga aku akhirnya memiliki
kesibukan yang mungkin tak seberapa padatnya jika dibandingkan dengan
kesibukannya waktu itu. Tapi aku ingat satu hal darinya
ketika aku berhasil memberitahunya tentang ini.
“bagaimana
dengan ini?” sambil menunjukan foto dari handphoneku “apa aku bisa
mendapatkannya?”
Tersenyum… “kenapa
tidak yakin begitu? tidak mungkin kamu berhenti untuk memperjuangkan dia kan?
yakinlah ini saatnya dan sudah waktunya membuat dia bahagia itu tujuanmu,
sahabat/pacar itu keputusan yang tidak usah kamu miliki, berjalan seimbang di
seutas tali akan membuat dirimu fokus untuk mencapai ujung tali tersebut. Lihatlah
kedepan sudah ada yang menanti”
Ujung sepatu
menjadi alasan mata ini untuk mengacuhkan “oke”
Entah dia
akan mengatakan hal yang sama atau tidak kalau dia tahu alasan sebenarnya aku mendekati
orang yang kukenalkan adalah untuk melupakan bahwa waktu-waktu senggangku kuhabiskan
bersama orang yang sedang baru aku dekati.
Aku bercanda
dekat dengan tempatnya melakukan aktifitasnya. Sesekali waktu istirahatku
kugunakan untuk mencari keberadaannya dan memandangnya dari kejauhan.
Seringkali tak kudapati temu. Sesekali kudapati temu, dia sedang sangat tak
bisa diganggu dengan sekedar ucapan hai.
Pada suatu
waktu renggang, aku kembali mendatanginya. Aku menyaksikannya sedang dalam
keadaan duduk dan memandang papan tulis. Pelajarannya
memang membuatnya harus sering-sering berhadapan dengan sakit kepala.
Dari depan pintu aku tersenyum untuknya sambil menunjukan
selembar kertas yang sudah kugambari, mengibaratkan kalimat pendek yang tak
bersuara mengisyaratkan aku menunggu disini untuk menanti hadirmu berada di
hadapanku.
Dia mendatangiku, kemudian tiba-tiba mengulurkan tangan dan
tersenyum sambil mengambil kertas itu sambil berbisik lucu “Terimakasih val…
maaf ya merepotkan, sekali lagi maaf ya” kemudian tersenyum manis dan berbalik
badan lalu kembali duduk dikursinya.
…Berjuang
Dan hari
itupun berlalu…
Kabar tak mengenakan terdengar bahkan tertuliskan oleh titik
hitam.
Menjauh seperti dedaunan yang tertiup sampai kesebrang
jalanan.
Aku sangat
mengenalnya. Dia sedang sangat lelah dengan apapun yang dihadapinya saat itu.
Dia tidak pernah menceritakan secara detail tentang apapun yang dihadapinya. Yang
didapat hanya kabar yang tak pasti begitu mesra dia bersamanya.
Dia mencoba
menjadi wanita tangguh sejak pertama kali aku mengenalnya. Dia memang tangguh,
meski ada kalanya ia menjadi sangat lelah dan memilih pasrah berada di pelukku
sambil bermanja.
Pelukan
inilah yang membuatku tak sanggup berlama-lama tak menemuinya. Candu ketika aku
menjadi sangat dibutuhkannya selalu memabukkanku. Belum pernah sekalipun aku
merasa risih ketika dia tiba-tiba memelukku dari belakang saat tak ada yang
peduli dengan ide-ide besarnya. Belum pernah kudapati aku merasa jenuh saat dia
mendatangiku untuk meminta pelukan erat dan lama, meski kemudian dia berlalu
tenggelam dengan “dia”, kembali dan seolah melupakan aku ada di sekitarnya.
Apa iya aku
sesayang itu padanya?
Tadinya aku
pikir iya. Iya, aku sangat menyayanginya.
Tapi
belakangan aku menyadari, aku tak lagi sesayang itu padanya. Iya, aku masih
menyayanginya, tapi bukan lagi sebagai seorang perempuan tangguh tempatku
menenggelamkan diri dalam romantisme sepasang manusia. Ternyata aku menyadari, aku
menyayanginya sebagai perempuan lemah yang hanya mendatangkan candu bagiku
untuk harus selalu ada ketika dia membutuhkan kehadiran seorang pria yang
dianggapnya akan selalu mendengarkan tiap keluh kesahnya.
Cukupkah semua
ini? Semua yang sudah sedari awal kuketahui bahwa kehadirannya hanya sebagai
pengisi kesepian ini, seperti suara petikan gitar yang berasal dari lubang yang
kosong dan gelap.
Seutas tali
itu seperti sugesti yang tidak ada artinya…
Kehidupan baru
dimulai dan ini untuk kesekian kalinya mengulang impian yang tidak pernah
tercapai.
candaan
membuat tempat itu menjadi lupa bahwa tempat tersebut berada di keramaian,
berat sekali untuk mendekatinya bahkan yang teringat dipikiran ini. Setiap melangkah
untuk mendekatinya kenangan pahit itu teringat kembali
…akan setangkai
bunga. Sesekali putaran roda berhenti dan berputar
kembali begitu seterusnya, tempat ternyaman pada saat itu bisa duduk
berdekattan, mengharapkan pelukan itu ada untuk menyandarkan badan ini di
pelukannya yang sudah terlalu kaku…
Ini hanya langkah kenapa harus teringat kenangan itu. Kembali
langkah kedua untuk mendekatinya. Terasa begitu berat bahkan susah untuk terbiasa
seperti berjalan layaknya manusia pada umumnya. Sesampainya didirinya suasana
yang teggang terpecahkan oleh canda “ciee… bla bla bla bla” harus kuat dengan
ini dan dengan seperti ini lah yang bikin dirinya akan terbiasa.
…untuk
kesekian kalinya, “aku siapa? Aku bukan siapa-siapa” melarang untuk hal yang
tidak aku sukai hanya membuatnya berhenti untuk mendpatkan kebahagiannya, bukan
bermaksud untuk merebut kebahagiannya tapi…
Diri ini
harus terbiasa akan keadaan seperti ini…
Mencintainya bukan seharusnya untuk memiliki…
Memiliki bukan seharusnya untuk melarang…
Seolah rasa pahitnya sakit hati menyadarkan untuk
menyendiri.
Hai kamu…
Hai kamuu…
dan
Hai kamuuu…
Sekarang kalian sudah bebas dari rasaku ini. kalian memang
tidak pernah merasakan terikat oleh rasa ini tapi Lebih baik rasa ini berhenti,
sudah cukup… kita akan bahagia dengan keadaan seperti ini saja.
No comments:
Post a Comment